Sidratul Muntaha
10/28/2012
Sidrat al-Muntahā (bahasa Arab: سدرة المنتهى , Sidratul Muntaha) adalah sebuah pohon bidara yang menandai
akhir dari langit/Surga ke tujuh, sebuah batas dimana makhluk tidak dapat
melewatinya, menurut kepercayaan Islam. Dalam kepercayaan ajaran lain ada pula
semacam kisah tentang Sidrat al-Muntahā, yang disebut sebagai "Pohon
Kehidupan".
Pada tanggal 27 Rajab selama Isra Mi'raj, hanya Muhammad yang bisa
memasuki Sidrat al-Muntaha dan dalam perjalanan tersebut, Muhammad ditemani
oleh Malaikat Jibril, dimana Allah memberikan perintah untuk Salat 5 waktu.
Dalam Agama Baha'i Sidrat al-Muntahā biasa disebut dengan
"Sadratu'l-Muntahá" adalah sebuah kiasan untuk penjelmaan Tuhan.
Etimologi
Sidrat al-Muntahā berasal dari kata sidrah dan muntaha. Sidrah
adalah pohon Bidara, sedangkan muntaha berarti tempat berkesudahan, sebagaimana
kata ini dipakai dalam ayat berikut:
“ Kemudian
akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan
bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu). (An-Najm, 53:41-42) ”
Dengan demikian, secara bahasa Sidratul Muntaha berarti pohon
Bidara tempat berkesudahan. Disebut demikian karena tempat ini tidak bisa
dilewati lebih jauh lagi oleh manusia dan merupakan tempat diputuskannya segala
urusan yang naik dari dunia di bawahnya maupun segala perkara yang turun dari
atasnya. Istilah ini disebutkan sekali dalam Al-Qur'an, yaitu pada ayat:
“ ...(yaitu)
di Sidratil Muntaha. (An-Najm, 53:14) ”
Wujud Sidrat al-Muntahā
Sidratul Muntaha digambarkan sebagai Pohon Bidara yang sangat
besar, tumbuh mulai Langit Keenam hingga Langit Ketujuh. Dedaunannya sebesar
telinga gajah dan buah-buahannya seperti bejana batu.[1]
Menurut Kitab As-Suluk, Sidrat al-Muntahā adalah sebuah pohon yang
terdapat di bawah 'Arsy, pohon tersebut memiliki daun yang sama banyaknya
dengan sejumlah makhluk ciptaan Allah.[2]
Allah berfirman dalam surah An-Najm 16,
“ Ketika
Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya (an-Najm, 53: 16) ”
Dikatakan bahwa yang menyelimutinya adalah permadani yang terbuat
dari emas.
Jika Allah memutuskan sesuatu, maka "bersemilah"
Sidratul Muntaha sehingga diliputi oleh sesuatu, yang menurut penafsiran Ibnu
Mas'ud radhiyallahu anhu adalah "permadani emas". Deskripsi tentang
Sidratul Muntaha dalam hadits-hadits tentang Isra Mi'raj tersebut menurut
sebagian ulama hanyalah berupa gambaran (metafora) sebatas yang dapat
diungkapkan kata-kata.
Peristiwa di Sidratul Muntaha bagi Muhammad
Ketika Mi'raj, di sini Muhammad melihat banyak hal, seperti:
Melihat bentuk asli Malaikat Jibril
Dikatakan bahwa Muhammad telah melihat wujud asli dari Malaikat
Jibril yang memiliki sayap sebanyak 600 sayap.[3]
“ Dan
sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada
waktu yang lain, (An-Najm 53:13) ”
Melihat Tuhan
Dikatakan pula bahwa Muhammad telah melihat Allah yang berupa
cahaya.[4][5]
Untuk hal ini terdapat beda pendapat di kalangan ulama, apakah
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah melihat Tuhannya? Jika pernah
apakah beliau melihat-Nya dengan mata kepala atau mata hati? Masing-masing
memiliki argumennya sendiri-sendiri. Di antara yang berpendapat bahwa beliau
pernah melihat-Nya dengan mata hati antara lain al-Baihaqi, al-Hafizh Ibnu
Katsir dalam Tafsirnya, dan Syaikh al-Albani dalam tahqiq beliau terhadap
Syarah Aqidah ath-Thahawiyah. Salah satu argumentasi mereka adalah hadits di
atas.
Mendapatkan Perintah Salat
Di Sidratul Muntaha ini Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam
mendapatkan perintah salat 5 waktu. Perintah melaksanakan salat tersebut pada
awalnya adalah 50 kali setiap harinya, akan tetapi karena pertimbangan dan
saran Nabi Musa serta permohonan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam
sendiri, serta kasih dan sayang Allah Subhanahu wa Ta'ala, jumlahnya menjadi
hanya 5 kali saja. Di antara hadits mengenai hal ini diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas dan Ibnu Mas'ud.[6]
Dari Abdullah (bin Mas'ud), ia telah berkata: "Ketika
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam diisrakan, beliau berakhir di Sidratul
Muntaha (yang bermula) di langit keenam. Ke sanalah berakhir apa-apa yang naik
dari bumi, lalu diputuskan di sana. Dan ke sana berakhir apa-apa yang turun
dari atasnya, lalu diputuskan di sana."
Ia berkata: "Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
diberi tiga hal: Diberi salat lima waktu dan diberi penutup Surah al-Baqarah
serta diampuni dosa-dosa besar bagi siapapun dari umatnya yang tidak
menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun".HR Muslim (173) dengan redaksi
di atas, at-Tirmidzi (3276), an-Nasai (451), dan Ahmad (3656 & 4001).}}
0 komentar