Seratus Peluru untuk Amru | Cerpen Habiburrahman El-Shirazy
7/11/2014
Kisah Kecil dari Palestina
Di setiap
hembusan nafasku
Kutemukan
nama-Mu
Di setiap
goresan tintaku
Asma-Mu
kusebut selalu
Seratus Peluru untuk Amru
Habiburrahman El Shirazy
Namanya
Amru. Anak lelaki berumur 12 tahun itu terlahir dari Rahim seorang wanita
Palestina.
Anak
lelaki itu telah yatim piatu sejak berumur lima tahun. Ayahnya mati syahid,
ditembak serdadu Israel usai shalat Jumat di Masjidil Aqsha, saat ia masih berada
di dalam kandungan ibunya. Sedangkan ibunya menyusul syahid saat ia masih
berumur lima tahun.
Kini Amru tinggal bersama kakeknya
yang sudah berumur tujuh puluh tahun. Mereka berdua tinggal di sebuah gubug
darurat di pinggir kota Khan Yunis. Rumah mereka di Nablus telah hancur
berkeping-keping dibombardir Israel. Bahkan diatas puing-puing rumahnya itu
kini telah berdiri villa mewah milik bisnisman Yahudi yang baru datang dari
Ceko bersama dua puluh lima ribu orang Yahudi lainnya dari Eropa Timur.
Sementara orang-orang Palestina
terusir dari rumah dan kampung halaman mereka, satu per satu menemui ajal
diburu peluru –peluru buta Israel, ribuan penduduk baru Yahudi didatangkan
dengan diberi seribu perlindungan, dengan seribu fasilitas mewah yang dibangun diatas
mayat-mayat dan genangan darah anak Palestina.
Tiap pagi Yahudi Israel makan roti
bakar yang diolesi keju bergizi tinggi yang disarikan dari darah dan nanah
rakyat Palestina. Mereka makan gandum yang ditanam diatas bumi Palestina dan
disirami dengan keringat, peluh dan darah rakyat Palestina.
Pagi itu sehabis shalat Subuh dan
mengaji Al-Qur’an bersama kakeknya, Amru bergegas keluar dari gubug reot itu.
Ia langsung menyambar ember. Ya, seperti biasanya ia harus mengambil air untuk
keperluan hidup dari pipa-pipa pengairan di ladang-ladang anggur Israel. Ia
harus berjalan satu kilo lebih untuk mengambil air. Itu pun ia mesti bergerilya
penuh waspada, jangan sampai kepergok tentara Israel durjana.
Sejak kekalahan Arab pada perang
tahun 1967 nyaris segala sesuatu yang ada di atas bumi Palestina masuk dalam
genggaman Israel, tak terkecuali air. Begitu mahal harga setetes air bagi
Israel sehingga seluruh jalur pengairan mereka jaga sedemikian ketatnya. Namun,
begitu murah darah rakyat Palestina bagi Israel sehingga dengan seenaknya
mereka mengalirkannya setiap hari tanpa henti.
* * *
“Kek, Amru pamit dulu ngambil air
ya,” Amru mencium tangan kakeknya yang berdiri di pintu gubug.
“Fi ri’yatillah, cucuku.
Pasanglah seluruh inderamu. Janganlah lengah. Jika kepergok Israel cepat-cepat
selamatkan diri. Jangan kautumpahkan darahmu sia-sia pagi ini. Sebab, di bumi
Palestina ini kau bisa memilih cara paling mulia untuk menumpahkan darah syahidmu,
cucuku. Rasakan dengan sepenuh hati bahwa Allah bersama langkahmu,” dengan
suara penuh wibawa sang kakek menasihati cucunya sambil mengusap-usap kepalanya
dengan penuh kasih saying dan cinta.
Sejurus kemudian Amru melesat
seperti anak panah sambil menenteng ember. Sang kakek memandangi cucunya yang
yatim piatu itu dengan meneteskan air mata.
“Ya Allah … limpahkanlah satu telaga
kesabaran yang tiada habis sumbernya pada anak-anak Palestina. Untuk sekedar
mengambil air minum saja ya Allah, yang keluar dari bumimu mereka harus
mempertaruhkan nyawa. Ya Allah… lindungilah Amru, cucuku yang yatim piatu.
Kalau Kau pilih dia untuk syahid di jalan-Mu, pilihkanlah jalan yang paling
mulia dan paling Kau ridhai. Amin.” sang kakek berdoa penuh khusyuk saat Amru
ditelan kabut pagi.
Amru berlari-lari kecil. Hatinya riang. Ya, hatinya selalu riang sehabis
tadarusan Al-Quran di Subuh hari bersama kakeknya. Hanya Al-Quranlah lagu dan
musik jiwanya. Kepapaan dan kesengsaraannya semakin menjadikan ia tidak bisa
berpisah dengan Al-Quran, pelipur laranya satu-satunya. Al-Quran memberikannya
harapan-harapan masa depan yang cemerlang, menciptakan nuansa-nuansa keindahan
dalam hatinya.
Ia
terus berlari-lari kecil, hatinya riang, ia masih terpaut dengan surat Al Insan
ayat 11 dan 12 yang tadi ia baca dengan meneteskan air mata.
“Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari
itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. Dan
Dia memberi Balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan
(pakaian) sutera”
Tiba-tiba ia merasa rindu ingin
bertemu dengan Tuhannya. Ia merasa rindu ingin bertemu ayah dan ibundanya di
surga. Kerinduan yang tiada tara menjadikan hatinya begitu haru, matanya
tiba-tiba berkaca-kaca.
Amru pun menghentikan langkahnya. Ia
lalu duduk bersila menghadap kiblat dibawah pohon korma. Ia pejamkan kedua
matanya dan ia tengadahkan kedua tangannya ke langit, lalu dengan khusyuk
bibirnya bergetar, “Ya Allah Tuhan yang memberkati bumi Palestina dan
sekitarnya, dengan asma-Mu yang paling agung aku berdoa. Ya Allah, aku rindu
ingin bertemu dengan-Mu, aku rindu pada ayah ibundaku yang syahid di jalan-Mu.
Ya Allah, aku memohon dengan segala keridhaan yang Engkau letakkan pada kitab
Al-Quran untuk hamba-hamba-Mu yang membacanya, angkatlah diriku menemui ayah
ibuku dengan belas kasih-Mu sebelum matahari berada di ubun-ubun kepalaku.
Amin.”
Pohon korma, kabut pagi, mentari
yang mengintip di ufuk timur, pohon-pohon Zaitun, batu-batu, debu, puing-puing
pecahan mesiu, langit dan bumi serta para malaikat mulia ikut mengamini doa
suci Amru pagi itu.
Amru bangkit sambil menghapus
tetesan hangat airmatanya. Ia lanjutkan perjalanan. Kali ini ia tidak lagi
lewat jalan biasa, ia merunduk,
menyusuri sebuah parit menuju ladang anggur Israel.
Dug! Tentara Israel! Ya ia menangkap
bayangan dua tentara Israel berjalan mengitari perkebunan anggur itu. Terpaksa
ia memutar haluan. Semestinya lima puluh meter lagi adalah pipa yang biasa ia
sadap airnya. Amru merangkak, lima meter di hadapannya adalah terowongan kecil
sepanjang seratus meter yang berakhir di tengah ladang gandum. Terowongan itu
asalnya adalah saluran irigasi yang kini tidak dipakai lagi.
Kedua tentara Israel itu berjalan santai
sambil terkekeh-kekeh. Senjata mereka lengkap. Keduanya memegang roti berkeju.
Agaknya mereka sedang sarapan pagi. Sarapan pagi dengan makanan yang disarikan
dari darah dan nanah rakyat Palestina. Langkah keduanya semakin jelas, semakin
mendekati parit persembunyian Amru. Amru terus merangkak pelan menuju
terowongan.
“Ah aman, Alhamdulillah,”
gumam Amru lega begitu ia masuk terowongan. Sementara kedua tentara Israel itu
melenggang dengan langkah congkaknya, melintas tepat di atas kepala Amru. Amru
terpaku di dalam terowongan, keningnya berkerut, pikirannya berputar merancang
strategi mengecoh dua tentara Israel agar berpindah dari jalan pintas yang
biasa ia lalui itu.
Yah, ketemu ! seru Amru didalam
hati.
Aku telusuri terowongan ini sampai
ke tengah ladang lalu aku bakar saja ladang ini. Lalu aku masuk lagi ke
terowongan dan menuju kemari. Dua tentara itu dan tentara lainnya pasti akan
segera lari ke tengah ladang begitu melihat asap berkepul. Saat mereka ke
tengah ladang aku akan cepat lari ke kran air dan mengambil air dari sana. Bismillah!
Dengan cepat, tanpa membuang waktu,
mujahid kecil itu merangsek ke dalam terowongan pengap itu. Embernya ia tinggal
di bibir terowongan. Ia terus merangsek maju. Semakin lama semakin gelap. Dan
akhirnya ia berada di tempat gelap gulita, hitam pekat. Nafasnya mulai
tersengal-sengal, ia terbatuk-batuk. Udara di dalam terowongan itu begitu
pengapnya. Tiba-tiba ia mendengar suara berdesis.
Inna Lillahi wa inna ilaihi
raji’un. Jangan-jangan itu suara ular. “Ya Allah, haruskah aku syahid
dipatuk ular? Ya Allah, dengan seluruh asma-Mu yang digunakan oleh Rasulullah
berdoa kepada-Mu aku mohon syahidkanlah aku dengan seratus peluru.”
Doa Amru di dalam hati dengan penuh khusyuk. Lalu ia membaca doa yang diajarkan
kakeknya tiga kali,
“Bismillahi Ladzi Laa Yadhurru
Ma’asmihi Syaiun Fil Ardhi Wa Laa Fis Sam’ii Wahuwas Samiul ‘Alim.”
Tiba-tiba suara desis ular itu hilang. Lalu dengan
mantap ia kembali maju, merangkak menelusuri terowongan sempit itu dan ia tidak
menemui halangan apa-apa. Samar-samar ia kembali melihat seberkas cahaya. Ya,
itu ujung terowongan yang ada di tengah ladang, gumamnya bersemangat. Semakin
cepat ia merangkak maju. Dan akhirnya kepala mujahid kecil itu perlahan-lahan
nongol dari sebuah lubang di tengah kebun anggur di pinggir kota Khan Yunis
itu.
“Alhamdulillah, lakal hamdu ya
Rabbi!” Amru memuji Tuhannya.
Segera ia keluar penuh waspada. Ia
mengendap-endap mengitarkan pandangannya ke seluruh penjuru kebun. Tak ada
tentara di tengah kebun. Para pekerja belum berdatangan, hari masih terlalu
pagi. Aman!
Dengan cepat Amru mengumpulkan
ranting-ranting kering , daun-daun anggur kering, ia letakkan tepat di bawah
pohon anggur yang siap dipanen. Lalu ia mengeluarkan korek api yang terbawa di
saku celananya.
“Bismillah, wahai api, jika
pada tubuh nabi Ibrahim kau sejuk tidak membakar. Maka pada ladang Israel
durjana ini tebarlah panasmu, bakarlah semua isinya tanpa sisa, murkalah sebagaimana
Allah murka karena darah anak-anak Palestina dialirkan Israel tanpa iba,” doa
Amru saat menyulutkan api pada daun-daun kering.
Begitu ia melihat api itu mulai
menjadi besar, cepat-cepat ia masuk kembali ke dalam terowongan. Amru merangsek
dengan cepat. Ia harus segera sampai di ujung luar lalu berlari secepatnya
menuju kran dan mengambil air.
Sementara itu api terus berkobar
perlahan-lahan membakar pohon-pohon anggur itu. Kandungan alkohol yang ada
dalam pohon dan buah anggur itu semakin membuat kobaran api itu merajalela. Dan
wuzz! Api itu menjalar kemana-mana Ia begitu murka. Tentara-tentara
Israel kalang kabut. Sibuk memadamkan api.
“Cepat padamkan api itu, jika tidak
kebun anggur seluas dua ratus hektar ini akan menjadi abu.” teriak sang komandan
mengkomando anak buahnya.
“Kalian semua tolol. Ini pasti ulah
orang HAMAS. Kalian semua dungu!!!” Sang komandan terus menceracau dan
marah-marah. Wajahnya tegang dan panik.
Tetapi naas, gerakan tentara Israel
agaknya kalah sigap dengan gerakan api. Api terus menjalar dengan cepat ladang
anggur itu. Membakar sejadi-jadinya. Sesekali terdengar ledakan-ledakan kecil
dari pohon-pohon anggur yang pecah menyemburkan api.
Begitu sampai di ujung terowongan,
Amru keluar dengan ekstra hati-hati. Ia arahkan pandangannya ke tengah kebun.
Asap membumbung tinggi.
“Berhasil, Allahu Akbar! teriak
Amru tertahankan di dada. segera ia lari sekencang-kencangnya menyusuri parit
menuju kran air. Lima belas menit kemudian ia sudah ada di kran jauh di pinggir
utara kebun anggur itu. Langsung ia kucurkan air, ia basahi muka dan rambutnya.
Lalu ia minum sepuas-puasnya. Setelah itu ia penuhi embernya dengan air.
Tiba-tiba begitu ia hendak mengangkat embernya, sekonyong-konyong dari arah
kebun ia melihat tiga tentara Israel berlari kearahnya. Dengan cepat kilat Amru
mengambil langkah seribu, ia bagai terbang, ember kekayaannya satu-satunya ia
tinggal begitu saja. Ia teringat pesan kakeknya, “Kau bisa
memilih cara paling mulia untuk menumpahkan darah syahidmu, cucuku!”
“Hei tikus kecil berhenti! Kalau
tidak kuberondong kau!!” teriak tentara Israel. Amru terus berlari dengan
cepat.
Dan….
Dor…dor…dor…dor….! puluhan peluru
berdesingan di kanan kiri Amru.
“Ayo cepat kita buru setan kecil
ini! Jangan-jangan dia yang membakar kebun! Ayo cepat!!” Tiga tentara itu lalu memburu Amru.
Dor…dor…dor….!!!
Det…det…det…det….!!! Senjata otomatis dari salah satu tentara Israel itu
menyalak, memuntahkan ratusan peluru, tepat saat kaki Amru tersandung batu.
Amru terjerembab jatuh. Batu itu telah menyelamatkan nyawa Amru dari tajamnya
ratusan peluru Israel. Amru kembali berlari sekencang-kencangnya. Ia masuk ke
kebun korma yang ditumbuhi belukar tak terurus.
“Kurang ajar, setan itu masuk
belukar. Ayo kita buru sampai mampus!” kata Yahudi berkumis tebal.
“Sudahlah biarkan aja. Aku malas
masuk belukar kucing-kucingan sama setan kecil itu. Jangan-jangan itu jebakan
orang HAMAS. Kita bertiga malah mati konyol nanti. Ah, aku tak mau mampus
gara-gara setan kecil itu. Kita kembali saja ke ladang.” ucap tentara kedua.
“Benar kata Ben Solomon ini,
jangan-jangan ini jebakan. Kita kembali saja. Kalau mau bombardir saja kebun
itu dengan artileri jarak jauh. Kita kan tetap aman,” sahut yang ketiga.
Akhirnya ketiga tentara Israel
pengecut itu tidak berani memburu Amru. Mereka kembali ke ladang yang terbakar
itu.
* * *
Setengah jam kemudian, Amru telah
sampai di depan gubug reotnya. Kakeknya masih di dalam tadarusan Al-Quran.
Wajah Amru begitu pucat. Tenaganya benar-benar habis pagi ini. Sudah dua hari
perutnya tak terisi sepotong pengganjal pun. Air yang baru saja ia minum telah
keluar dan tumpah lewat keringatnya yang deras. Nafasnya masih terengah-engah.
Ia lalu duduk menggeloyot di samping pintu.
Mendengar nafas Amru, sang kakek
keluar dan mengelus-elus kepala cucunya. Ia langsung paham bahwa cucunya pasti
baru dikejar-kejar tentara Israel. “Cucuku, wajahmu pucat sekali. Istirahatlah
dulu ya cucuku. Biar kakek coba keluar cari makanan seadanya.” kata kakeknya
sambil mencium kening cucu kesayangannya itu.
“Jangan kek, biar Amru yang keluar.
Kakek sudah terlalu tua. Kakek istirahat, membaca Al-Quran dan berdoa untuk
Amru saja di rumah. Apalagi kaki kakek kan sudah lumpuh satu. Bagaimana kakek
bisa berjalan jauh. Biar Amru saja kek, sekalian Amru ingin ke madrasah sudah
dua hari Amru tidak hadir. Amru kangen sama teman-teman dan para asatidz!”
jawab Amru.
Mendengar jawaban cucunya itu, sang
kakek hanya meneteskan air mata. Ya, ia telah udzur, kakinya telah lumpuh satu.
Seandainya kakinya tidak lumpuh tentu ia masih akan bergerilya melawan
kezaliman penjajah Israel.
Kembali Amru pamit pada kakeknya.
Sebelum melangkah meninggalkan gubug ia mengambil senjata andalannya : ketapel!
Ia yakin bahwa nanti ia akan menggunakan ketapel itu jika diajak teman-temannya
menyerang tentara Israel pengecut. Ia paling suka melihat wajah-wajah pucat,
cemas dan takutnya tentara Israel. Apalagi jika batu yang terlempar dari
ketapelnya itu menyentuh hidung tentara Israel itu hingga berdarah. Ia akan
tertawa bahagia sekali. Lalu akan ia ciumi ketapel saktinya itu dengan penuh
bangga.
Diantara teman-teman
seperjuangannya, ia memang paling jitu memakai ketapel. Sehingga meski namanya
“Amru” ia dijuluki teman-temannya “Saad bin Abu Waqqash Kecil”, karena
tembakannya selalu mengenai sasaran.
Amru pergi ke madrasah, rindu ingin
bertemu teman-temannya, mujahid-mujahid kecil pemberani. Sebetulnya rasa
penatnya habis dikejar tentara Israel belum hilang, bahkan sakit di kakinya
saat tersandung batu tadi belum sirna. Tapi ia harus bergerak, tentara Allah
tidak boleh terkalahkan oleh penderitaan jasad. Tak ada istilah istirahat!
Terus bergerak, bergerilya, menyusun strategi, menukik bersama maneuver-manuver
dahsyat!
* * *
Begitu menginjakkan kaki di halaman
madrasahnya, Amru langsung diserbu teman-teman seperjuangannya.
“Ahlan
wa Sahlan, selamat dating ya Amru, kami semua rindu padamu,” sambut Ahmad,
ketua kelas mereka.
“Masya
Allah hangatnya berjumpa kalian, aku juga rindu pada kalian. Wahai
tentara-tentara Allah berhati singa. Ngomong-ngomong kalian kok di luar kelas,
ini kan sudah jam Sembilan. Siapa yang mengajar hari ini ?” Tanya Amru.
“Sekarang
kan jamnya Ustadzah Faizah Abdurrahim, beliau sebentar lagi datang Insya Allah.
Sebetulnya tadi kami semua ada di kelas, tapi begitu kau memasuki halaman kami
tidak sabar untuk memelukmu.” Jawab Ragab, sang insinyur pembuat bom Molotov
dalam pasukan mujahid kecil itu.
“Yuk kita
masuk kelas lagi. Kita ngobrol dan mengatur strategi-strategi kucing-kucingan
dengan tentara Israel lagi. Setuju?!” Ajak Amru.
“Setujuuuu!”
teriak anak-anak Palestina itu kompak. Begitu sampai di kelas, Amru yang mereka
anggap sebagai panglima perang membuka pembicaraan,
“Bismillah, sebelum kita
merancang strategi baru. Aku ingin mendengar hasil-hasil manuver kalian tiga
hari ini. Apa yang telah kalian lakukan untuk membela agama Allah ini, membela
tanah suci ini. Silahkan mulai dari Ahmad!” Suara Amru terdengar tegas.
“Hari Rabu lalu saya ikut menyerang
penjagaan blockade Israel di sisi barat Khan Yunis. Tiga lemparan batu saya
mengenai leher Israel!” jawab Ahmad bersemangat.
“Aku telah merakit lima Molotov, ada
di tasku sekarang ini.” sambung si Ragab.
“Coba bisa saya lihat ?” Tanya Amru.
“Ini!” jawab Ragab sambil
menyerahkan tasnya pada Amru.
“Bagus, namun kita harus terus
meningkatkan kemampuan kita. Kemampuan pikiran dan senjata! Kalau kamu Umar,
apa yang kamu lakukan?” sambung Amru.
“Lihat tangan kananku, aku tertembak
tiga hari yang lalu.” Jawab Umar dengan
nada sedih.
“Tak apa-apa, darah yang kau
teteskan dari tanganmu adalah pengobar semangat kita bersama.” jawab Amru
dengan bijak menumbuhkan semangat juang teman-temannya.
“Lha kau sendiri Amru, apa yang
telah kamu lakukan?” Tanya Ahmad, sang ketua kelas.
“Banyak, tapi yang paling prestius
adalah pagi ini, sebelum berangkat ke sini aku telah membakar ladang anggur
Israel di sebelah Timur Khan Yunis. Saat ini tentara-tentara Israel keparat itu
mungkin masih sibuk memadamkan api yang mengancam dua ratus hektar kebun anggur
itu.” Jawab Amru dengan penuh percaya diri.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Allahu Akbar!” teman-temannya menyambut dengan takbir.
“Assalamu’alaikum!” tiba-tiba terdengar suara lembut
seorang wanita.
Rupanya Ustadzah Faizah Abdurrahim
yang datang. “Wa’alaikumsalam warahmatullah!” jawab anak-anak Palestina
itu serempak.
“Ada berita apa anak-anakku tercinta?
kok takbir kalian begitu keras membahana, seakan menggetarkan dunia?!” Tanya
Ustadzah Faizah.
“Ini Ustadzah, Amru berhasil
membakar kebun anggur Israel, tadi pagi, semoga saja kebun penjajah Israel
seluas dua rarus hektar itu musnah dimakan api!” jawab Ahmad.
“Subhanallah! kalau begitu
kita harus cepat-cepat bubar. Pantesan tadi di jalan Israel begitu ketat
melakukan sweeping. Sebentar lagi mereka pasti kesini. Ayo anak-anak
kita bubar. Menyebar. Israel pasti marah dan mengamuk membabi buta!”
Begitu Ustadzah Faizah hendak
berdiri, tiba-tiba….
“Brakkk!!! Dor…dor…dor…!!!”
Puluhan tentara Israel memasuki
kelas.
“Ambil dan seret anjing betina itu!
Dia anggota HAMAS!” sang komandan memerintahkan anak buahnya untuk menangkap
Ustadzah Faizah.
Suasana di kelas benar-benar
tegang.Ustadzah Faizah tak bergeming dari tempat duduknya. Sementara dada Amru
menyimpan bara kemarahan. Ia teringat ibunya, tujuh tahun yang lalu ibunya
meninggal saat mengajar.
Tujuh tahun yang lalu. Saat itulah
ibunya sedang mengajar di Madrasah Ibtidaiyyah Safinatun Najah di kota Khan
Yunis. Ketika itu pukul Sembilan pagi, ibunya sedang mengajarkan mata pelajaran
Tauhid pada murid-muridnya. Tiba-tiba terdengar suara pesawat tempur Israel
menderu-deru dilangit Khan Yunis. Dan terdengarlah ledakan mesiu menggelegar di
sana-sini.Ibunya keluar dari kelas diikuti murid-muridnya. Begitu melangkahkan
kaki di pintu, gedung dan halaman madrasah itu dilumat oleh dentuman
mahadahsyat.
Lima belas guru dan seratus dua
puluh muridnya mati syahid pada pagi hari yang kelabu itu. Tak ada liputan
terperinci dari pers dunia. Hanya sejarah yang menulisnya sambil meneteskan
airmata darah. Khan Yunis kota kecil di Palestina itu menggelepar, menahan
perih tak terkira.
“Pasukan ayo cepat seret wanita itu,
jangan bengong saja!” gelegar suara komandan Israel itu menyadarkan Amru. Darah
anak Palestina itu mendidih. Perlahan-lahan ia siapkan ketapelnya. Dua batu
telah ia pasang.
Dua tentara Israel merangsek. Begitu
tangan mereka hendak menyentuh wanita Palestina berjilbab cokelat itu.
Tiba-tiba….
Plak! Plak!
Dua batu
menghantam keras mengenai sasarannya. Tembakan Amru tak pernah meleset.
Dan….
Bummm! Dua
bom Molotov meledak. Empat tentara Israel terkapar. Sang komandan menahan geram
tubuhnya perih terkena pecahan kaca.
“Brengsek. Kalian tikus kecil
brengsek! Rasakan ini!!”
Ded..ded..ded..ded..ded…!!! Ratusan
peluru muntah dari senjata otomatis komandan Israel. Peluru-peluru itu muntah
membabi buta ke seluruh ruangan kelas. Menerpa wajah-wajah polos! Ahmad, Ragab,
Umar, Isa, Mahmud tewas seketika, syahid menyusul teman-temannya. Ustadzah
Faizah tak luput dari terjangan peluru buta itu. Tubuhnya terjerembab ke
lantai, jilbab cokelatnya berlumuran darah. Kelas itu pun banjir darah. Kembali
kota Khan Yunis menggelojot mengerang perih.
Ternyata Amru masih hidup, tepat
saat sang komandan menarik picu senjatanya, ia berhasil melompat dan langsung
tiarap!!!
“Kurang ajar Yahudi Israel laknatullah
ini. Nah rasakan!”
Dan…
Dan…
Plak! plak! dua tembakan batu Amru
merobek wajah komandan Israel.
“Aaa…aduuuuuuuh…b..b..bu..bunuh
bangsat satu ini. Cepaaaaaat!!! teriak komandan.
Tak ayal lagi tentara-tentara Israel
itupun memuntahkan ratusan peluru ke tubuh Amru. Dan….
“Laa
ilaaha illallaaah!” Amru menghembuskan nafas terakhirnya bersamaan dengan
sempurnanya kalimat tauhid yang terucap dari mulut mungilnya. Panglima para
pejuang kecil berani mati itu pun gugur, syahid menemui Tuhannya, menemui ayah
dan ibundanya yang dirindukannya.
Dikutip dari : Buku Catatan
Motivasi Seorang Santri~Habiburrahman El Shirazy,dkk
0 komentar